Kamis, 01 Agustus 2019

Proses Kebijakan Publik

1.   Bagaimana Menurut Anda Tentang Proses Kebijakan Publik ?
Jawab.
a.     Definisi
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai “public policy”, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi. Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi peraturan pemerintah atau peraturan presiden termasuk peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.

b.     Proses Kebijakan Publik
Kebijakan publik dapat dilihat dari dua sudut pandang, dari pra dan pasca terbentuknya.  yang pertama (pra), melihat dari proses pembentukan sedangkan yang kedua (pasca) memandang dari setelah menjadi produk kebijakan, berupa perundangan dan atau peraturan publik. Dalam pendekatan pertama, terdapat tahapan yang lazim berlaku. Diawali dengan identifikasi terhadap problematika yang muncul di ranah publik, pihak tertentu yang berpekentingan kemudian mengupayakan permasalahan tersebut dikemukakan ke hadapan publik sehingga diketahui dan disadari bahwa persoalan yang muncul terkait dengan kepentingan publik (public issues). Ketika semakin banyak yang menaruh perhatian (concerned), maka isu publik beranjak menjadi agenda publik, yang biasanya ditindak-lanjuti dengan berbagai aksi-reaksi antara pemangku kepentingan dengan lembaga publik yang berwenang menerbitkan kebijakan. Pada tahap ini acap timbul pro dan kontra, adu argumentasi, saling mempengaruhi, pengerahan dukungan dan lain sebagainya. Jika tercapai konklusi, hasil akhir produk kebijakan publik berupa perundangan dan atau peraturan publik.
Mengikuti proses di atas seringkali melelahkan, oleh karenanya, banyak pihak memilih mengomentari produk kebijakan, menganalisis mengapa, untuk apa, dan siapa yang diuntungkan/dirugikan dari produk kebijakan publik tersebut. Tentu saja analisis yang dikemukakan dipengaruhi oleh posisi relatif dan kepentingan yang bersangkutan terhadap isu-isu terkait kebijakan publik tersebut.
proses atau formulasi pembuatan kebijakan public meliputi beberapa hal berikut :
1.      Identifikasi masalah kebijakan (identification of policy problem). Identifikasi masalah dapat dilakukan melalui identifikasi apa yang menjadi tuntutan (demands) atas tindakan pemerintah.
2.     Penyusunan agenda (agenda setting) merupakan aktifitas memfokuskan perhatian pada pejabat publik dan media massa atas keputusan apa yang akan diputuskan terhadap masalah publik tertentu. 
3.     Perumusan kebijakan (policy formulation) merupakan tahapan pengusulan rumusan kebijakan melalui inisiasi dan penyusunan usulan kebijakan melalui organisasi perencanaan kebijakan, kelompok kepentingan, birokasi pemerintah, presiden dan lembaga legislatif.
4.     Pengesahan kebijakan (legitimating of policies) melalui tindakan politik oleh partai politik, kelompok penekan, presiden dan kongres.
5.     Implementasi kebijakan (policy implementation) dilakukan melalui birokrasi, anggaran publik, dan aktivitas agen eksekutif yang terorganisasi.
6.     Evaluasi kebijakan (policy evaluation) dilakukan oleh lembaga pemerintah sendiri, konsultan di luar pemerintah, pers dan masyarakat (publik).

c.     Bentuk Penyimpangan Dalam Proses Kebijakan Publik.
Studi kebijakan publik dalam konteks Indonesia menjadi semakin penting dan menarik jika dikaitkan dengan wacana otonomi daerah yang kini tengah dijalankan. Pelaksanaan otonomi daerah tersebut diharapkan akan memberi kesejahteraan kepada sebagian besar rakyat, namun dibalik harapan tersebut juga diliputi kekhawatiran. Otonomi daerah dicemaskan hanya akan melahirkan “raja-raja kecil” di daerah, yang tidak memperdulikan kesejahteran rakyat. Dengan demikian, maka studi kebijakan publik dengan alasan profesional semakin dibutuhkan.
Dalam posisi yang bersebelahan dengan  kebijakan publik yang semakin penting, perihal kebijakan publik akan menjadi sebuah upaya tanggung jawab dari pemerintah untuk melayani masyarakat sebagai individu yang menjadi ladang penerapan kebijakan publik. Kebijakan publik menjadi sebuah tindakan pemegang kebijakan untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu terhadap masyarakatnya. Kemudian diambil suatu upaya untuk mencapai kebijakan publik yang tepat sasaran sesuai dengan prinsip good governance.Maka dibentuklah suatu agenda kebijakan yang dimaksudkan sebagai wadah untuk menampung masalah-masalah yang akan diselesaikan oleh pemerintah.
Agenda kebijakan berbentuk daftar masalah tersebut kemudian di identifikasi oleh lembaga pengambil keputusan untuk dijadikan pembahasan guna menentukan kebijakan publik yang akan diambil. Tetapi kenyataan yang diterima oleh masyarakat agenda kebijakan tidak sepenuhnya tercapai, karena dalam penerapannya kelembagaan pemerintah malah mendapat permasalahan yang lebih rumit. Hal ini disebabkan antara lain keterbatasan waktu dan begitu banyaknya masalah yang harus ditangani oleh sebuah lembaga pengambil keputusan.
Agenda kebijakan mungkin hanya mampu membahas beberapa masalah dan kebutuhan sesuai dengan standar yang diterapkan oleh organisasi pengambil keputusan. Dalam hal ini kemudian muncul arti penting memahami masalah berdasarkan urgensinya. Karena bisa saja agenda kebijakan publik tidak mendasarkan pada aspek prioritas tetapi mungkin karena motif-motif tertentu seperti motif ekonomi dan motif politik.Dengan demikian sebelum masalah menjadi sebuah agenda kebijakan, pada dasarnya telah terjadi pertarungan ditingkat sebelumnya, yaitu bagaimana seseorang atau lembaga pengambil keputusan menentukan prioritas masalah menjadi sebuah agenda kebijakan. Disinilah sesungguhnya dibutuhkan suatu keahlian dan keterampilan pengambil kebijakan untuk memahami, mengerti dan akhirnya memutuskan apa yang hendak dimasukkan dalam agenda kebijakan.
Defenisi yang menyatakan maksud agenda kebijakan adalah:
“List of subject or problems to which government officials and people outside of government closely with these official, are paying some serious attention any given”
Dari defenisi ini ada beberapa masalah yang harus digaris bawahi ;
Ø  Daftar urusan atau masalah, contohnya adalah pelayanan umum apa yang harus diperbuat oleh pembuat kebijakan. Dalam hal ini badan-badan pemerintah yang berhadapan langsung dengan tanggung jawab untuk melayani kepentingan umum, bukan semata-mata kepentingan kalangan pelaku usaha.
Ø  Agenda kebijakan seharusnya melibatkan orang-orang di dalam maupun di luar pemerintahan. Artinya dibutuhkan suatu partnership dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk menentukan dan mempengaruhi proses kebijakan, agar sebuah masalah dapat dimasukkan dalam daftar kebijakan.
Ø  Ada sebuah pandangan terhadap urgensi kebutuhan masyarakat demi tercapainya pelayanan umum, maka diusulkan letak penting prioritas permasalahan.
Dalam mewujudkan pelayanan publik melalui kebijakan publik yang digagas oleh pemerintah dibutuhkan suatu kerjasama dengan masyarakat demi terwujudnya kebijakan publik yang tepat guna. Namun dalam kenyataannya pemerintah, dalam hal ini khususnya pemerintah daerah, sepertinya mengenyampingkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sehingga banyak bermunculan kebijakan publik yang berorientasi kepada motif ekonomi dan motif politik yang sebelumnya telah dipaparkan. Kenapa hal ini terjadi? Karena tidak adanya akuntabilitas birokrasi terhadap kenyataan publik, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan agenda kebijakan publik yang tidak berorientasi kepada pelayanan masyarakat. Penyimpangan-penyimpangan ini akhirnya membentuk sesuatu yang dinamakan simpul korupsi birokrasi.

2.   Analisis Undang-Undang No. 39 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Tahun 2004

Jawab.

1.       Calon TKI/TKI. Karakteristik calon TKI/TKI yang sebagian besar terbatas aksesnya untuk mendapatkan informasi disebabkan kualitas calon TKI/TKI memiliki pendidikan dan keterampilan yang rendah, biasanya disebut sebagai tenaga kerja informal, sehingga perlu mendapat perlindungan ekstra dari pemerintah. Fakta, tanggung jawab PPTKIS lebih besar dari pemerintah, lihatlah penjelasan Undang Undang Nomor: 39 Tahun 2004 menyebutkan bahwa calon TKI/TKI yang belum dapat menikmati akses informasi menjadi tanggung jawab pemerintah.
2.       Penganggaran. Berdasarkan Undang Undang APBN Tahun 2008, BNP2TKI telah ditetapkan sebagai lembaga untuk menempatkan TKI di seluruh negara penempatan. Berarti tidak hanya G to G/P yang saat ini hanya untuk negara Korea Selatan dan Jepang.
3.       Pelayanan langsung. BNP2TKI membawahi 19 (sembilan belas ) organisasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) serta 13 (tiga belas) Pos Pelayanan di embarkasi atau debarkasi yang tugas pokoknya memberikan kemudahan pemrosesan dokumen dan penyelesaian permasalahan TKI. Pelayanan langsung melalui pelayanan terpadu satu pintu. Dalam pelayanan satu pintu, kedudukan Dinas ketenagakerjaan merupakan instansi yang sangat berperan dalam pelayanan tersebut. Selain itu, keberadaan BP3TKI sebelumnya BP2TKI, sejak diberlakukannya Undang Undang Nomor: 22 Tahun 1999 yang sekarang menjadi Undang Undang Nomor: 32 Tahun 2004, UPT tersebut tidak diserahkan ke pemerintahan daerah. Alasannya karena bersifat lintas negara dan lintas provinsi.
4.       Pelimpahan urusan pemerintahan. Dalam pelimpahan urusan pemerintahan (urpem) terlebih dahulu menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM), tidak serta merta dengan Peraturan Menteri. Menteri hanya membuat standar, pedoman, kriteria dan prosedur dan pembahasannya bersama dengan Menteri Dalam Negeri serta pemangku kepentingan termasuk BNP2TKI. Materi yang dibuat SPM telah tercantum dalam lampiran PP Nomor: 38 Tahun 2007. Apabila diatur sebaliknya, maka terjadi tumpang tindih antara dinas dengan BP3TKI.
5.       Upaya hukum (legal remedies).
a.     penyelesaian melalui lingkungan eksekutif (executif review) artinya tidak mengambil keputusan atas nama negara apabila ada konflik kepentingan, semestinya diserahkan kepada atasannya atau pihak lain di lingkungan eksekutif yang paling berwenang;
b.     penyelesaian melalui Ombudsman sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, karena alasan terganggunya pelayanan publik (Undang Undang Nomor: 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia);
c.     Penyelesaian melalui kewenangan legislatif (DPR) dengan melaksanakan hak mengajukan peratanyaan atau angket karena adanya perbedaan dalam mengimplementasikan undang-undang;
d.     Judicial Review pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang ke Mahkamah Agung (the legality of regulation);
e.     Pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi dengan batu ujinya adalah Undang Undang Dasar 1945 terhadap Undang Undang Nomor: 39 Tahun 2004.
6.     Akhirnya, reformasi terhadap penempatan dan perlindungan TKI telah gagal di tengah jalan karena kehilangan good will dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Jangan mengutamakan kekuasaan atau kewenangan lebih mulia mengambil peran aktif memperbaiki keadaan TKI.


Apa yang Membatalkan Anggito Abimanyu Gagal di Lantik Menjadi Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ?
Jawab.


3.   Sebutkan Salah Satu Produk Kebijakan Pemerintah yang Menimbulkan Masalah? Silahkan Menganalisis Melalui 4 Pendekatan. Ekonomi, Politik, Sosial dan Keamanan.

Jawab.
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang merupakan produk kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sebagai jawaban atas janji kampanye untuk menyelenggarakan pendidikan dasar gratis, dimulai pada tahun ajaran 2005/2006, sampai sekarang masih terus diliputi persoalan. Pada awal peluncurannya dulu, persoalan yang muncul adalah jumlah dana BOS yang terbatas dan waktu pengucurannya yang terlambat, di samping di daerah-daerah banyak pungutan liar yang dilakukan oleh pejabat dinas pendidikan setempat. Mekanisme tersebut kemudian diperbaiki sehingga tidak terlambat.
Saat ini, besaran BOS yang diterima oleh sekolah sudah dinaikkan, termasuk untuk BOS Buku dengan besaran: SD/SDLB di kota Rp 400 ribu per siswa per tahun; SD/SDLB di kabupaten Rp 397 ribu per siswa per tahun; SMP/SMPLB/SMPT di kota Rp 575 ribu per siswa per tahun; dan SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten Rp 570 ribu per siswa per tahun. Total dana BOS 2011 ini mencapai Rp 16,8 triliun untuk 36.751.515 murid, yang terdiri atas 27.225.299 siswa SD/SDLB dan 9.526.216 siswa SMP/SMPLB/SMPT. Jadi, dari segi jumlah, dana BOS yang diberikan sudah meningkat dibanding pada awal implementasi dulu. Persoalan BOS tahun ini mencakup dua hal.
Pertama, menyangkut soal penggunaan dana untuk belanja pegawai (honor guru) bagi sekolah negeri maksimal 20 persen, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 37 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun 2011. Konsekuensi dari Permendiknas ini adalah banyak guru honorer di sekolah negeri yang pendapatannya turun hampir 50 persen, ada yang dari Rp 400 ribu merosot menjadi Rp 200 ribu, atau dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 700 ribu, sehingga berpengaruh terhadap kinerja mereka. Di beberapa sekolah negeri, keberadaan guru honorer itu terpaksa dihentikan karena sekolah tidak punya sumber dana yang cukup, meskipun keberadaan guru honorer tersebut dibutuhkan oleh sekolah.
Kedua, menyangkut penyalurannya yang terlambat. Ironisnya, keterlambatan tersebut terjadi justru ketika proses penyalurannya diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing, yang semestinya bisa lebih cepat, karena secara geografis lebih dekat dengan lokasi sekolah. Sebelumnya, penyaluran dana BOS itu dari pemerintah pusat langsung ke rekening sekolah masing-masing. Dengan tujuan  meningkatkan rasa memiliki daerah, mulai 2011 ini penyaluran dana BOS diubah melalui kabupaten/kota.

Pendekatan Ekonomi.
Pendekatan pertama ditempuh melalui mekanisme ekonomi. Pendekatan ini dilakukan dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat. Langkah yang dilakukan diantaranya dengan memperluas investasi dan meningkatkan belanja pemerintah. Bila merujuk pada UU penanaman modal, tujuan dari investasi adalah sebagai berikut:
·        Menigkatkan pertumbuhan ekonomi nasional
·        Menciptakan lapangan kerja
·        Menigkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan
·        Menigkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional
·        Menigkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional
·        Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan
·        Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi rill dengan menggunakan dana yang berasal baik dalam negeri maupun luar negeri
·        Menigkatkan kesejahteraan rakyat
Kemiskinan di Indonesia terjadi salah satunya karena minimnya lapangan pekerjaan. Berdasarkan data dari BPS, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mengalami penurunan. Definisi penganguran terbuka adalah orang yang mencari pekerjaan, mempersiapkan Usaha, merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan, atau sudah punya pekerjaan tetapi belum dimulai. Pada Februari 2010 mencapai 8.592.490 jiwa, sedangkan pada Agustus 2010 turun menjadi 8.319.779 jiwa. Oleh sebab itu, melalui perluasan investasi diharapkan dapat memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Dengan tersedianya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha diharapkan bisa membawa dampak semakin banyak warga negara yang memperoleh penghasilan dan kemiskinan pun dapat dikurangi.

Estimasi dampak penerima bantuan BOS terhadap jumlah tingkat putus sekolah usia 16 - 20 tahun dengan memperhitungkan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan individu. memperlihatkan hasil estimasi dengan memperhitungkan siswa yang sebelumnya pernah menerima manfaat BOS namun saat ini sudah menginjak usia antara 16-20 tahun. Koefisien dampak program BOS terhadap tingkat putus sekolah memperlihatkan hasil yang signifikan secara statistic. Hasil ini konsisten dengan perhitungan difference in difference, dimana dampak program BOS pada siswa yang sebelumnya pernah menerima bantuan dan sekarang telah berusia 16-20 tahun berpengaruh positif terhadap tingkat putus sebesar 0,1637 poin dan signifikan secara statistic pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Karateristik rumah tangga yang berpengaruh negatif terhadap tingkat putus sekolah adalah status pekerjaan kepala rumah tangga jika bekerja yang mencapai 0,1263 dan signifikan secara statistic pada tingkat kepercayaan 95%. Artinya, jika terjadi peningkatan sebesar 1 poin status pekerjaan rumah tangga jika bekerja maka akan menurunkan tingkat putus sekolah sebesar 0,1263 poin dengan asumsi cateris paribus. Hasil ini memperlihatkan bahwa tingkat putus sekolah banyak disebabkan tidak hanya karena ketidakmampuan secara ekonomi, termasuk jika kepala rumah tangga tidak bekerja. Hal ini akan mengakibatkan anakanak mereka dilibatkan untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehingga merasa terbebani dengan masalah ekonomi ini. Dalam jangka panjang, dapat menyebabkan anak usia sekolah terpaksa putus sekolah dan masuk ke pasar kerja dalam usia muda guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya (ILO, 2006). Sebaliknya, jika kepala rumah tangga bekerja maka akan cenderung untuk tidak melibatkan anak mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan berusaha menjaga anakanaknya agar tetap bersekolah. Oleh karena itu, kondisi tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan tingkat putus sekolah. Sementara itu, karateristik anak yang berpengaruh terhadap penurunan tingkat putus sekolah adalah jumlah anak yang sekolah. Jumlah anak yang bersekolah berpengaruh negatif terhadap tingkat penurunan putus sekolah sebesar 0,0372 poin pada tingkat kepercayaan 90%. Artinya, jika terjadi peningkatan 1 poin jumlah usia sekolah maka akan menurunkan tingkat putus sekolah sebesar 0,0372 poin dengan asumsi cateris paribus. Sementara itu, variabelvariabel lainnya yaitu jumlah anggota rumah tangga,jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dalamrumah tangga, usia kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala keluarga, pengeluaran perkapita, pendidikan kepala rumah tangga, status perkawinan kepala rumah tangga dan usia anak sekolah tidak signifikan secara statistik.

Pendekatan Sosial dan Politik
Era modern saat ini perkembangan teknologi dan pengetahuan sudah semakin cepat menyebar melalui berbagai media-media informasi yang menjadi penghubung antar masyarakat dunia saat ini. Persaingan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya sangat ketat baik didalam satu negara itu sendiri maupun antar bangsa/negara.
Pada masa ini agar terus bisa maju melangkah menuju perkembangan yang lebih baik, dibutuhkan banyak perubahan-perubahan dalam segala aspek kehidupan. Aspek kehidupan yang paling penting untuk mencapai perkembangan yang lebih baik dan maju adalah aspek sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi. Karena hal ini bisa dijadikan kunci sebagai sarana mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri, dan sejahtera.
Dukungan atas kualitas sumber daya manusia yang tinggi sangat mempengaruhi kemajuan pembangunan dan teknologi yang berkembang di setiap Negara. Melalui pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia yang unggul setiap negara bisa mulai berani untuk merangkak menuju singgasana kemajuan global dunia.
peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia menekankan manusia sebagai alat (means) dan sebagai tujuan akhir pembangunan. Peningkatan sumber daya manusia dapat diperoleh melalui : perbaikan kesehatan dan gizi, kesempatan kerja, lingkungan hidup yang sehat, pengembangan karir ditempat kerja dan kehidupan politik yang bebas serta pendidikan dan pelatihan. Diantara unsur-unsur tersebut pendidikan dan pelatihan merupakan unsur terpenting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Karena dapat dilakukan dalam jangka pendek dan merupakan inti dari peningkatan kualitas hidup. Jika pendidikan sudah meningkat maka secara berlahan unsur yang lainnya akan ikut meningkat juga.
Di Indonesia pendidikan merupakan salah satu jalur yang digalakkan saat ini untuk meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia Indonesia agar lebih baik, terarah dan tidak tertinggal dengan negara-negara lain yang telah maju dan modern. Di dalam tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 20 th 2003 tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sebuah Implementasi dari Undang-undang tersebut, pemerintah mulai mengasah kreativitas mereka guna menemukan kebijakan-kebijakan untuk membantu menuju pendidikan masyarakat yang lebih maju. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yang dikenal dengan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Konsekuensi dari hal tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/Mts serta satuan pendidikan yang sederajat).
Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Namun, sampai dengan saat ini masih banyak orang miskin yang memiliki keterbatasan akses untuk memperoleh pendidikan bermutu, hal ini disebabkan antara lain karena mahalnya biaya pendidikan. Kenaikan harga BBM beberapa tahun belakangan dikhawatirkan akan menurunkan kemampuan daya beli penduduk miskin. Hal tersebut dapat menghambat upaya penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, karena penduduk miskin akan semakin sulit memenuhi kebutuhan biaya pendidikan.

pendekatan keamanan



4.   Apa Saja yang di Analisis Dalam Formulasi Kebijakan ?

Jawab

Pada dasarnya ada empat belas macam model perumusan kebijakan, dan keempat belas model tersebut dikelompokkan kedalam dua model yaitu model elite dan model pluralis (Nugroho, 2012:544). Model elite merupakan model yang dipengaruhi kontinentalis yang terdiri dari model kelembagaan (institutional), model proses (process), model kelompok (group), model elit (elite), model rasional (rational), model inkremental (incremental) dan model pengamatan terpadu (mixed scanning). Sementara model pluralis yaitu model yang dipengaruhi oleh anglo-saxonis yaitu model teori permainan (game theory), model pilihan publik (pilihan publik), model sistem (system), model demokratis (democratic), model deliberatif (deliberative), model strategis (strategic), dan model tong sampah (garbage can).
Untuk lebih memahami mengenai proses perumusan kebijakan, Nugroho (2011:551) mengemukakan Model Proses Ideal Perumusan Kebijakan yang diambil dari Pedoman Umum Kebijakan Publik yang dikembangkan untuk Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Tahun 2006 yang secara umum dapat digambarkan secara sederhana dalam urutan proses sebagai berikut :
1.   Munculnya isu kebijakan. Isu kebijakan dapat berupa masalah dan atau kebutuhan masyarakat dan atau negara, yang bersifat mendasar, mempunyai lingkup cakupan yang besar, dan memerlukan pengaturan pemerintah.
2.   Setelah pemerintah menangkap isu tersebut, perlu dibentuk tim perumus kebijakan. Tim kemudian secara paralel merumuskan naskah akademik dan atau langsung merumuskan draf nol kebijakan.
3.   Setelah terbentuk, rumusan draf nol kebijakan didiskusikan bersama forum publik, dalam jenjang sebagai berikut :
a.       Forum publik yang pertama, yaitu para pakar kebijakan dan pakar yang berkenaaan dengan masalah terkait.
b.       Forum publik kedua, yaitu dengan instansi pemerintah yang merumuskan kebijakan tersebut.
c.       Forum publik yang ketiga dengan para pihak yang terkait atau yang terkena impact langsung kebijakan, disebut juga benificiaries.
d.       Forum publik yang keempat adalah dengan seluruh pihak terkait secara luas, menghadirkan tokoh masyarakat, termasuk didalamnnya lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi isu terkait.
Hasil diskusi publik ini kemudian dijadikan materi penyusunan pasal-pasal kebijakan yang akan dikerjakan oleh tim perumus. Draf ini disebut Draf 1.
4.   Draf 1 didiskusikan dan diverifikasi dalam focused group discussion yang melibatkan dinas/instansi terkait, pakar kebijakan, dan pakar dari permasalahan yang akan diatur.
5.   Tim perumus merumuskan Draf 2, yang merupakan Draf Final dari kebijakan.
6.   Draf final kemudian disahkan oleh pejabat berwenang, atau, untuk kebijakan undang-undang, dibawa ke proses legislasi yang secara perundang – undangan telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
Berkaitan dengan proses perumusan kebijakan, Abidin (2012:123) mengungkapkan bahwa proses perumusan kebijakan publik dapat didekati melalui model yang dinamakan dengan Kerangka Proses dan Lingkungan Kebijaksanaan (KPLK). Kerangka proses tersebut menggambarkan proses kebijakan dalam tiga dimensi, antara lain dimensi luar, dimensi dalam dan tujuan. Diantara dimensi luar dan dimensi dalam terdapat jaringan keterkaitan (linkages).
Elemen luar adalah bagian luar dari suatu organisasi yang mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap rumusan kebijakan. Dimensi dalam adalah bagian dalam dari dalam suatu organisasi, elemen-elemen yang berada di dalam sistem ini terdiri atas struktur organisasi, sumber daya manusia, dan sarana organisasi, termasuk peralatan dan teknologi yang dikuasainya. Keterkaitan atau linkages, yaitu pertama keterkaitan yang ditujukan untuk memperoleh dukungan keabsahan atau legitimasi (enabling linkages), kedua adalah keterkaitan sumber daya yang diperlukan dalam perumusan kebijakan. Terkait dengan sumber daya yang diperlukan dalam proses kebijakan, Riant Nugroho (2011:506) mengemukakan terdapat keterbatasan sumber daya dalam proses kebijakan publik, adapun keterbatasan tersebut antara lain keterbatasan sumber daya waktu, kemampuan sumber daya manusia, keterbatasan kelembagaan, keterbatasan dana atau anggaran, dan keterbatasan yang bersifat teknis yaitu kemampuan menyusun kebijakan itu sendiri.
            Dalam membicarakan perumusan kebijakan publik, adalah penting untuk melihat  siapakah aktor-aktor yang terlibat di dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Winarno (2012:126) membagi aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan pemeran serta tidak resmi.


5.   Dalam Evaluasi Kebijakan Apa Saja yang Perlu di Analisis ?

Jawab.
Dimensi Evaluasi
Secara garis besar ada dua dimensi penting yang harus diperoleh informasinya dari studi dievaluasi dalam kebijakan publik. Dimensi tersebut seperti :
  1. Evaluasi kinerja pencapaian tujuan Kebijakan, yakni mengevaluasi kinerja orang-orang yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan. Darinya kita akan memperoleh jawaban atau informasi mengenai kinerja implementasi, efektifitas dan efisiensi, dlsb yang terkait.
  2. Evaluasi kebijakan dan dampaknya, yakni mengevaluasi kebijakan itu sendiri serta kandungan programnya. Darinya kita akan memperoleh informasi mengenai manfaat (efek) kebijakan, dampak (outcome) kebijakan, kesesuaian kebijakan/program dengan tujuan yang ingin dicapainya (kesesuaian antara sarana dan tujuan), dll
Menurut Palumbo dimensi kajian pada studi evaluasi mencakup keseluruhan siklus di dalam proses  kebijakan, dari saat penyusunan desain kebijakan,  saat implementasi, hingga saat selesai diimplementasikan. Jika dikaitkan dengan kebutuhan informasi yang diperoleh dari hasil evaluasi, maka dimensi evaluasi kebijakan meliputi hal-hal berikut :
Dimensi Evaluasi dalam Siklus kebijakan
-       Penentuan Agenda
-       Pendefinisian Masalah
-       Forecasting, Definisi Sasaran
-       Pendefinisian Ukuran, Distribusi Masalah
-       Analisis Keputusan
-       Desain Kebijakan
-       Analisis Feasibilitas Politik
-       Terminasi
-       Pooling, Survey
-       Legitimasi Kebijakan
-       Evaluasi Formatif
-       Evaluasi Sumatif
-       Dampak
-       Implementasi
Penelitian evaluasi kebijakan bukanlah hal yang dapat dipandang sepele karena dari hasil penelitian tersebut diharapkan diperoleh masukan/umpan balik dan penilaian-penilaian yang akurat atas sebuah kinerja kebijakan/program, serta hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan.
A.  Sebelum pelaksanaan

Ø Gunakan prosedur-prosedur ilmiah
-     Mengamati dan memahami tujuan evaluasi
-     Mengamati dan memilih  criteria
-     Mengamati sensitivitas metode
Ø Focus pada proses dan outcomes kebijakan/program, bukan hanya pada outcomesnya saja. Dengan demikian dapat diperoleh informasi mengenai aktifitas-aktifitas apa menghasilkan apa; serta memungkinkan upaya replikasi di kemudian hari.
Ø Jangan batasi dampak hanya pada sasaran-sasaran yang dinyatakan secara formal saja, sebab tidak semua sasaran kebijakan dinyatakan secara formal. Konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi akibat program/kebijakan juga dipertimbangkan. Untuk itu manfaatkan  hasil penelitian yang terkait, gunakan logika, atau pengalaman-pengalaman atas program yang serupa.
Ø Pertimbangkan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh pembuat keputusan di masa mendatang, bukan hanya kebutuhan saat ini. Bersikaplah sebagai ilmuwan, bukan teknisi evaluasi.

B.  Persiapan sebelum menguji Program
1)          Definisi Program Secara Jelas.
Harus dipastikan bahwa label yang diberikan pada sebuah program memiliki makna dan maksud yang sama bagi semua yang terlibat, sehingga jelas data mana yang harus diukur (definisi konsep harus jelas, sehingga definisi operasionalnya juga jelas dan dapat direplikasikan).

2)          Spesifikasi Sasaran/goals.
Karena sasaran-sasaran merupakan criteria keberhasilan program, maka harus dinyatakan secara spesifik agar dapat diperoleh tolok ukurnya. Sayangnya seringkali tujuan/sasaran tersebut hanya disebutkan secara umum, jangka panjang, bahkan kadang kontradiksi dan tidak terkait dengan aktifitas-aktifitas program. Jika hal ini terjadi, maka peneliti bertanggung-jawab untuk merumuskannya secara bersama-sama dengan perencana program dan manajer program.
3)          Keterkaitan Rasional.
Harus ada keterkaitan rasional antara program yang akan dievaluasi dengan sasaran yang dituju dan dampak yang diharapkan. Ada tidaknya kaitan rasional tersebut, dapat menentukan apakah program tersebut yang harus dimodifikasi atau sasaran dan hasil yang harus dirubah (misal Program Pelatihan Angkatan Kerja dengan sasaran jangka panjang berkurangnya angka pengangguran. Akan lebih masuk akal jika dikaitkan dengan sasaran jangka pendek : pencapaian tenaga kerja berketrampilan.
4)          Pastikan Kegunaan Evaluasi.
Kendati studi evaluasi dimaksudkan sebagai akuntabilitas program, serta untuk memberikan informasi yang terkait dengan pelaksanaan dan hasil program kepada pembuat keputusan dan manajemen, namun seringkali studi evaluasi dilakukan dengan maksud-maksud tertentu, yang disebut oleh Edward Suchman sebagai Pseudoevaluations. Karenanya evaluator juga harus mengetahui siapa yang menghendaki dan mendanai studi evaluasi tersebut untuk mencegah timbulnya ketegangan dengan administrator program.
5)          Spesifikasikan Variabel-variabel Evaluasi
-       Spesifikasikan komponen-komponen program,  dengan memperjelas terdiri dari komponen-komponen aktifitas apa saja program tersebut (misalnya PKK dengan 10 Program PKKnya). Gunanya adalah sebagai
-       Component testing untuk menguji sumbangan keefektifan masing-masing komponen terhadap program.
-       Spesifikasikan sasaran-sasaran dan efeknya. Bukan hanya yang dinyatakan secara formal dalam dokumen atau oleh pengelola program, namun juga sasaran-sasaran latent dan dampak-dampak lain yang diharapkan oleh masyarakat (misal kasus program Bantuan Langsung Tunai BLT yang ditujukan untuk meringankan beban masyarakat miskin akibat kenaikan harga BBM, dapat ditanggapi   beragam – missal: apa criteria ‘miskin’ dan apa criteria ‘meringankan’ yang dimaksudkan oleh program tsb? Karena jawabannya dapat beragam, demikian juga dampaknya). 
6)          Spesifikasikan Variabel-variabel antesedennya.
Anteseden variable adalah factor-faktor konteks yang dapat mempengaruhi jalannya program (misalnya karakteristik target kebijakan; sifat dasar permasalahan sehingga memerlukan intervensi kebijakn, dll).
7)          Spesifikasikan variable-variabel Interveningnya
dengan menanyakan : ”setelah program dijalankan, faktor-faktor apakah yang dapat mendukung atau menghambat pencapaian sasaran program?
-       Antecedent factors
-       Program Implementation
-       Intervening
-       Goals / Effects
8)          Measurement
setelah mengetahui apa saja yang harus diukur, maka langkah selanjutnya adalah memilih tehnik pengukuran yang tepat untuk menilai. Untuk itu perlu : a). ketepatan indicator (tolok ukur) yang digunakan; b). Reliabilitas alat ukur (hasil yang diberikan konsisten meski dilakukan dalam situasi yang berbeda) dan c). Validitas alat ukur (ketepatan alat ukur dalam mengukur fenomena).

C.     Kriteria yang harus dipenuhi dalam evaluasi
1)    Relevansi : harus mampu memberikan informasi yang tepat pada pembuat dan pelaku kebijakan, mampu menjawab secara benar pertanyaan dalam waktu yang tepat
2)    Signifikan : harus mampu memberikan informasi yang baru  dan penting.
3)    Validitas : mampu memberikan pertimbangan yang tepat sesuai dengan hasil nyata/data empiric mengenai hasil kebijakan.
4)    Reliabilitas : dapat membuktikan bahwa hasilnya diperoleh dengan penelitian yang teliti
5)    Obyektif : tidak memihak /bias
6)    Tepat waktu

7)    Daya guna : hasil penelitian dapat dipahami dan  dimanfaatkan oleh pelaku dan pembuat kebijakan