1.
Bagaimana Menurut
Anda
Tentang Proses
Kebijakan Publik ?
Jawab.
a.
Definisi
Dari berbagai kepustakaan dapat
diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut
sebagai “public policy”, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan
bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap
pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang
dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai
tugas menjatuhkan sanksi. Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita
pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan
suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya
secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama
dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan
publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang
berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan
publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi peraturan pemerintah atau peraturan presiden termasuk peraturan Daerah maka kebijakan
publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
b.
Proses Kebijakan
Publik
Kebijakan
publik dapat dilihat dari dua sudut pandang, dari pra dan pasca
terbentuknya. yang pertama (pra), melihat dari proses
pembentukan sedangkan yang kedua (pasca) memandang dari setelah menjadi produk
kebijakan, berupa perundangan dan atau peraturan publik. Dalam pendekatan
pertama, terdapat tahapan yang lazim berlaku. Diawali dengan identifikasi
terhadap problematika yang muncul di ranah publik, pihak tertentu yang
berpekentingan kemudian mengupayakan permasalahan tersebut dikemukakan ke
hadapan publik sehingga diketahui dan disadari bahwa persoalan yang muncul
terkait dengan kepentingan publik (public issues). Ketika semakin banyak yang
menaruh perhatian (concerned), maka isu publik beranjak menjadi agenda publik,
yang biasanya ditindak-lanjuti dengan berbagai aksi-reaksi antara pemangku
kepentingan dengan lembaga publik yang berwenang menerbitkan kebijakan. Pada
tahap ini acap timbul pro dan kontra, adu argumentasi, saling mempengaruhi,
pengerahan dukungan dan lain sebagainya. Jika tercapai konklusi, hasil akhir
produk kebijakan publik berupa perundangan dan atau peraturan publik.
Mengikuti
proses di atas seringkali melelahkan, oleh karenanya, banyak pihak memilih
mengomentari produk kebijakan, menganalisis mengapa, untuk apa, dan siapa yang
diuntungkan/dirugikan dari produk kebijakan publik tersebut. Tentu saja
analisis yang dikemukakan dipengaruhi oleh posisi relatif dan kepentingan yang
bersangkutan terhadap isu-isu terkait kebijakan publik tersebut.
proses atau formulasi pembuatan
kebijakan public meliputi
beberapa hal berikut :
1.
Identifikasi masalah kebijakan
(identification of policy problem). Identifikasi masalah dapat dilakukan
melalui identifikasi apa yang menjadi tuntutan (demands) atas tindakan
pemerintah.
2.
Penyusunan
agenda (agenda setting) merupakan aktifitas memfokuskan perhatian pada
pejabat publik dan media massa atas keputusan apa yang akan
diputuskan terhadap masalah publik tertentu.
3.
Perumusan
kebijakan (policy formulation) merupakan tahapan pengusulan rumusan
kebijakan melalui inisiasi dan penyusunan usulan kebijakan melalui
organisasi perencanaan kebijakan, kelompok kepentingan, birokasi
pemerintah, presiden dan lembaga legislatif.
4.
Pengesahan
kebijakan (legitimating of policies) melalui tindakan politik oleh partai
politik, kelompok penekan, presiden dan kongres.
5.
Implementasi
kebijakan (policy implementation) dilakukan melalui birokrasi, anggaran
publik, dan aktivitas agen eksekutif yang terorganisasi.
6.
Evaluasi
kebijakan (policy evaluation) dilakukan oleh lembaga pemerintah sendiri,
konsultan di luar pemerintah, pers dan masyarakat (publik).
c.
Bentuk Penyimpangan Dalam Proses Kebijakan Publik.
Studi kebijakan publik dalam konteks
Indonesia menjadi semakin penting dan menarik jika dikaitkan dengan wacana
otonomi daerah yang kini tengah dijalankan. Pelaksanaan otonomi daerah tersebut
diharapkan akan memberi kesejahteraan kepada sebagian besar rakyat, namun
dibalik harapan tersebut juga diliputi kekhawatiran. Otonomi daerah dicemaskan
hanya akan melahirkan “raja-raja kecil” di daerah, yang tidak memperdulikan
kesejahteran rakyat. Dengan demikian, maka studi kebijakan publik dengan alasan
profesional semakin dibutuhkan.
Dalam posisi yang bersebelahan
dengan kebijakan publik yang semakin penting, perihal kebijakan publik
akan menjadi sebuah upaya tanggung jawab dari pemerintah untuk melayani
masyarakat sebagai individu yang menjadi ladang penerapan kebijakan publik.
Kebijakan publik menjadi sebuah tindakan pemegang kebijakan untuk melakukan
sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu terhadap masyarakatnya. Kemudian
diambil suatu upaya untuk mencapai kebijakan publik yang tepat sasaran sesuai
dengan prinsip good governance.Maka dibentuklah suatu agenda kebijakan
yang dimaksudkan sebagai wadah untuk menampung masalah-masalah yang akan
diselesaikan oleh pemerintah.
Agenda kebijakan berbentuk daftar
masalah tersebut kemudian di identifikasi oleh lembaga pengambil keputusan
untuk dijadikan pembahasan guna menentukan kebijakan publik yang akan diambil.
Tetapi kenyataan yang diterima oleh masyarakat agenda kebijakan tidak
sepenuhnya tercapai, karena dalam penerapannya kelembagaan pemerintah malah
mendapat permasalahan yang lebih rumit. Hal ini disebabkan antara lain
keterbatasan waktu dan begitu banyaknya masalah yang harus ditangani oleh
sebuah lembaga pengambil keputusan.
Agenda kebijakan mungkin hanya mampu
membahas beberapa masalah dan kebutuhan sesuai dengan standar yang diterapkan
oleh organisasi pengambil keputusan. Dalam hal ini kemudian muncul arti penting
memahami masalah berdasarkan urgensinya. Karena bisa saja agenda kebijakan
publik tidak mendasarkan pada aspek prioritas tetapi mungkin karena motif-motif
tertentu seperti motif ekonomi dan motif politik.Dengan demikian sebelum
masalah menjadi sebuah agenda kebijakan, pada dasarnya telah terjadi
pertarungan ditingkat sebelumnya, yaitu bagaimana seseorang atau lembaga
pengambil keputusan menentukan prioritas masalah menjadi sebuah agenda
kebijakan. Disinilah sesungguhnya dibutuhkan suatu keahlian dan keterampilan
pengambil kebijakan untuk memahami, mengerti dan akhirnya memutuskan apa yang
hendak dimasukkan dalam agenda kebijakan.
Defenisi yang menyatakan maksud
agenda kebijakan adalah:
“List of subject or problems to
which government officials and people outside of government closely with these
official, are paying some serious attention any given”
Dari defenisi ini ada beberapa masalah
yang harus digaris bawahi ;
Ø Daftar urusan atau masalah,
contohnya adalah pelayanan umum apa yang harus diperbuat oleh pembuat
kebijakan. Dalam hal ini badan-badan pemerintah yang berhadapan langsung dengan
tanggung jawab untuk melayani kepentingan umum, bukan semata-mata kepentingan
kalangan pelaku usaha.
Ø Agenda kebijakan seharusnya
melibatkan orang-orang di dalam maupun di luar pemerintahan. Artinya dibutuhkan
suatu partnership dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk
menentukan dan mempengaruhi proses kebijakan, agar sebuah masalah dapat
dimasukkan dalam daftar kebijakan.
Ø Ada sebuah pandangan terhadap
urgensi kebutuhan masyarakat demi tercapainya pelayanan umum, maka diusulkan
letak penting prioritas permasalahan.
Dalam mewujudkan
pelayanan publik melalui kebijakan publik yang digagas oleh pemerintah
dibutuhkan suatu kerjasama dengan masyarakat demi terwujudnya kebijakan publik
yang tepat guna. Namun dalam kenyataannya pemerintah, dalam hal ini khususnya
pemerintah daerah, sepertinya mengenyampingkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat
sehingga banyak bermunculan kebijakan publik yang berorientasi kepada motif
ekonomi dan motif politik yang sebelumnya telah dipaparkan. Kenapa hal ini
terjadi? Karena tidak adanya akuntabilitas birokrasi terhadap kenyataan publik,
maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan agenda kebijakan publik yang tidak
berorientasi kepada pelayanan masyarakat. Penyimpangan-penyimpangan ini
akhirnya membentuk sesuatu yang dinamakan simpul korupsi birokrasi.
2.
Analisis
Undang-Undang No.
39 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Tahun 2004
Jawab.
1. Calon TKI/TKI. Karakteristik calon TKI/TKI yang
sebagian besar terbatas aksesnya untuk mendapatkan informasi disebabkan
kualitas calon TKI/TKI memiliki pendidikan dan keterampilan yang rendah,
biasanya disebut sebagai tenaga kerja informal, sehingga perlu mendapat
perlindungan ekstra dari pemerintah. Fakta, tanggung jawab PPTKIS lebih besar
dari pemerintah, lihatlah penjelasan Undang Undang Nomor: 39 Tahun 2004 menyebutkan
bahwa calon TKI/TKI yang belum dapat menikmati akses informasi menjadi tanggung
jawab pemerintah.
2. Penganggaran. Berdasarkan Undang Undang APBN
Tahun 2008, BNP2TKI telah ditetapkan sebagai lembaga untuk menempatkan TKI di
seluruh negara penempatan. Berarti tidak hanya G to G/P yang saat ini hanya
untuk negara Korea Selatan dan Jepang.
3. Pelayanan langsung. BNP2TKI membawahi 19 (sembilan
belas ) organisasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau Balai
Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) serta 13
(tiga belas) Pos Pelayanan di embarkasi atau debarkasi yang tugas pokoknya
memberikan kemudahan pemrosesan dokumen dan penyelesaian permasalahan TKI.
Pelayanan langsung melalui pelayanan terpadu satu pintu. Dalam pelayanan satu
pintu, kedudukan Dinas ketenagakerjaan merupakan instansi yang sangat berperan
dalam pelayanan tersebut. Selain itu, keberadaan BP3TKI sebelumnya BP2TKI,
sejak diberlakukannya Undang Undang Nomor: 22 Tahun 1999 yang sekarang menjadi
Undang Undang Nomor: 32 Tahun 2004, UPT tersebut tidak diserahkan ke
pemerintahan daerah. Alasannya karena bersifat lintas negara dan lintas
provinsi.
4. Pelimpahan urusan pemerintahan. Dalam pelimpahan urusan
pemerintahan (urpem) terlebih dahulu menetapkan Standar Pelayanan Minimal
(SPM), tidak serta merta dengan Peraturan Menteri. Menteri hanya membuat
standar, pedoman, kriteria dan prosedur dan pembahasannya bersama dengan
Menteri Dalam Negeri serta pemangku kepentingan termasuk BNP2TKI. Materi yang
dibuat SPM telah tercantum dalam lampiran PP Nomor: 38 Tahun 2007. Apabila
diatur sebaliknya, maka terjadi tumpang tindih antara dinas dengan BP3TKI.
5. Upaya hukum (legal remedies).
a. penyelesaian melalui lingkungan
eksekutif (executif review) artinya
tidak mengambil keputusan atas nama negara apabila ada konflik kepentingan,
semestinya diserahkan kepada atasannya atau pihak lain di lingkungan eksekutif
yang paling berwenang;
b. penyelesaian melalui Ombudsman
sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan
organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, karena alasan
terganggunya pelayanan publik (Undang Undang Nomor: 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia);
c. Penyelesaian melalui kewenangan legislatif
(DPR) dengan melaksanakan hak mengajukan peratanyaan atau angket karena adanya
perbedaan dalam mengimplementasikan undang-undang;
d. Judicial
Review pengujian
legalitas peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang ke Mahkamah Agung
(the legality of regulation);
e. Pengujian konstitusionalitas
undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi dengan batu ujinya adalah Undang Undang
Dasar 1945 terhadap Undang Undang Nomor: 39 Tahun 2004.
6. Akhirnya, reformasi terhadap
penempatan dan perlindungan TKI telah gagal di tengah jalan karena kehilangan good will dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan. Jangan mengutamakan kekuasaan atau kewenangan lebih mulia
mengambil peran aktif memperbaiki keadaan TKI.
Apa
yang Membatalkan
Anggito Abimanyu Gagal
di Lantik Menjadi
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
?
Jawab.
3.
Sebutkan
Salah Satu Produk
Kebijakan
Pemerintah
yang Menimbulkan
Masalah? Silahkan Menganalisis
Melalui
4 Pendekatan.
Ekonomi,
Politik,
Sosial dan Keamanan.
Jawab.
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang merupakan produk
kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sebagai jawaban atas janji
kampanye untuk menyelenggarakan pendidikan dasar gratis,
dimulai pada tahun ajaran 2005/2006, sampai sekarang masih terus diliputi
persoalan. Pada awal peluncurannya dulu, persoalan yang muncul adalah jumlah
dana BOS
yang terbatas dan waktu pengucurannya yang terlambat, di samping di daerah-daerah
banyak pungutan liar yang dilakukan oleh pejabat dinas pendidikan setempat.
Mekanisme tersebut kemudian diperbaiki sehingga tidak terlambat.
Saat
ini, besaran BOS
yang diterima oleh sekolah
sudah dinaikkan, termasuk untuk BOS Buku dengan besaran: SD/SDLB
di kota Rp 400 ribu per siswa per tahun; SD/SDLB
di kabupaten Rp 397 ribu per siswa per tahun; SMP/SMPLB/SMPT
di kota Rp 575 ribu per siswa per tahun; dan SMP/SMPLB/SMPT
di kabupaten Rp 570 ribu per siswa per tahun. Total dana BOS 2011 ini mencapai
Rp 16,8 triliun untuk 36.751.515 murid, yang terdiri atas 27.225.299 siswa SD/SDLB
dan 9.526.216 siswa SMP/SMPLB/SMPT.
Jadi, dari segi jumlah, dana BOS yang diberikan sudah meningkat dibanding pada
awal implementasi dulu. Persoalan BOS tahun ini mencakup dua hal.
Pertama, menyangkut soal penggunaan dana untuk belanja pegawai
(honor guru) bagi sekolah
negeri maksimal 20 persen, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) Nomor 37 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan
Dana BOS Tahun 2011. Konsekuensi dari Permendiknas ini adalah banyak guru
honorer di sekolah negeri yang pendapatannya turun hampir 50 persen, ada yang
dari Rp 400 ribu merosot menjadi Rp 200 ribu, atau dari Rp 1,2 juta menjadi Rp
700 ribu, sehingga berpengaruh terhadap kinerja mereka. Di beberapa sekolah
negeri, keberadaan guru honorer itu terpaksa dihentikan karena sekolah tidak
punya sumber dana yang cukup, meskipun keberadaan guru honorer tersebut
dibutuhkan oleh sekolah.
Kedua, menyangkut penyalurannya yang terlambat. Ironisnya,
keterlambatan tersebut terjadi justru ketika proses penyalurannya diserahkan
kepada pemerintah daerah masing-masing, yang semestinya bisa lebih cepat,
karena secara geografis lebih dekat dengan lokasi sekolah. Sebelumnya,
penyaluran dana BOS itu dari pemerintah pusat langsung ke rekening sekolah
masing-masing. Dengan tujuan meningkatkan rasa memiliki daerah, mulai
2011 ini penyaluran dana BOS diubah melalui kabupaten/kota.
Pendekatan Ekonomi.
Pendekatan
pertama ditempuh melalui mekanisme ekonomi. Pendekatan ini dilakukan dengan
mendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat. Langkah yang dilakukan diantaranya
dengan memperluas
investasi dan meningkatkan belanja pemerintah.
Bila merujuk pada UU penanaman modal,
tujuan dari investasi adalah sebagai berikut:
·
Menigkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional
·
Menciptakan
lapangan kerja
·
Menigkatkan
pembangunan ekonomi berkelanjutan
·
Menigkatkan
kemampuan daya saing dunia usaha nasional
·
Menigkatkan
kapasitas dan kemampuan teknologi nasional
·
Mendorong
pengembangan ekonomi kerakyatan
·
Mengolah
ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi rill dengan menggunakan dana yang
berasal baik dalam negeri maupun luar negeri
·
Menigkatkan
kesejahteraan rakyat
Kemiskinan
di Indonesia terjadi salah satunya karena minimnya lapangan pekerjaan.
Berdasarkan data dari BPS, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mengalami
penurunan. Definisi penganguran terbuka adalah orang yang mencari pekerjaan,
mempersiapkan Usaha, merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan, atau sudah punya
pekerjaan tetapi belum dimulai. Pada Februari 2010 mencapai 8.592.490 jiwa,
sedangkan pada Agustus 2010 turun menjadi 8.319.779 jiwa. Oleh sebab itu,
melalui perluasan investasi diharapkan dapat memperluas kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha. Dengan tersedianya kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha diharapkan bisa membawa dampak semakin banyak warga negara yang
memperoleh penghasilan dan kemiskinan pun dapat dikurangi.
Estimasi dampak penerima bantuan BOS terhadap jumlah tingkat putus sekolah usia 16 - 20 tahun dengan memperhitungkan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan individu. memperlihatkan
hasil estimasi dengan memperhitungkan siswa yang sebelumnya pernah menerima
manfaat BOS namun saat ini sudah menginjak usia antara 16-20 tahun. Koefisien
dampak program BOS terhadap tingkat putus sekolah memperlihatkan hasil yang signifikan
secara statistic. Hasil ini konsisten dengan perhitungan difference in
difference, dimana dampak program BOS pada siswa yang sebelumnya pernah
menerima bantuan dan sekarang telah berusia 16-20 tahun berpengaruh positif
terhadap tingkat putus sebesar 0,1637 poin dan signifikan secara statistic pada
tingkat kepercayaan 99 persen.
Karateristik
rumah tangga yang berpengaruh negatif terhadap tingkat putus sekolah adalah
status pekerjaan kepala rumah tangga jika bekerja yang mencapai 0,1263 dan
signifikan secara statistic pada tingkat kepercayaan 95%. Artinya, jika terjadi
peningkatan sebesar 1 poin status pekerjaan rumah tangga jika bekerja maka akan
menurunkan tingkat putus sekolah sebesar 0,1263 poin dengan asumsi cateris
paribus. Hasil ini memperlihatkan bahwa tingkat putus sekolah banyak disebabkan
tidak hanya karena ketidakmampuan secara ekonomi, termasuk jika kepala rumah
tangga tidak bekerja. Hal ini akan mengakibatkan anakanak mereka dilibatkan
untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehingga merasa terbebani
dengan masalah ekonomi ini. Dalam jangka panjang, dapat menyebabkan anak usia
sekolah terpaksa putus sekolah dan masuk ke pasar kerja dalam usia muda guna
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya (ILO, 2006). Sebaliknya, jika kepala
rumah tangga bekerja maka akan cenderung untuk tidak melibatkan anak mereka
untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan berusaha menjaga
anakanaknya agar tetap bersekolah. Oleh karena itu, kondisi tersebut secara
tidak langsung dapat menurunkan tingkat putus sekolah. Sementara itu,
karateristik anak yang berpengaruh terhadap penurunan tingkat putus sekolah
adalah jumlah anak yang sekolah. Jumlah anak yang bersekolah berpengaruh
negatif terhadap tingkat penurunan putus sekolah sebesar 0,0372 poin pada
tingkat kepercayaan 90%. Artinya, jika terjadi peningkatan 1 poin jumlah usia
sekolah maka akan menurunkan tingkat putus sekolah sebesar 0,0372 poin dengan
asumsi cateris paribus. Sementara itu, variabelvariabel lainnya yaitu jumlah
anggota rumah tangga,jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dalamrumah
tangga, usia kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala keluarga, pengeluaran
perkapita, pendidikan kepala rumah tangga, status perkawinan kepala rumah
tangga dan usia anak sekolah tidak signifikan secara statistik.
Pendekatan Sosial dan Politik
Era
modern saat ini perkembangan teknologi dan pengetahuan sudah semakin cepat
menyebar melalui berbagai media-media informasi yang menjadi penghubung antar
masyarakat dunia saat ini. Persaingan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya
sangat ketat baik didalam satu negara itu sendiri maupun antar bangsa/negara.
Pada
masa ini agar terus bisa maju melangkah menuju perkembangan yang lebih baik,
dibutuhkan banyak perubahan-perubahan dalam segala aspek kehidupan. Aspek
kehidupan yang paling penting untuk mencapai perkembangan yang lebih baik dan
maju adalah aspek sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi. Karena hal
ini bisa dijadikan kunci sebagai sarana mewujudkan masyarakat yang maju,
mandiri, dan sejahtera.
Dukungan
atas kualitas sumber daya manusia yang tinggi sangat mempengaruhi kemajuan
pembangunan dan teknologi yang berkembang di setiap Negara. Melalui
pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia yang unggul setiap negara bisa
mulai berani untuk merangkak menuju singgasana kemajuan global dunia.
peningkatan
dan pengembangan sumber daya manusia menekankan manusia sebagai alat (means)
dan sebagai tujuan akhir pembangunan. Peningkatan sumber daya manusia dapat
diperoleh melalui : perbaikan kesehatan dan gizi, kesempatan kerja, lingkungan
hidup yang sehat, pengembangan karir ditempat kerja dan kehidupan politik yang
bebas serta pendidikan dan pelatihan. Diantara unsur-unsur tersebut pendidikan
dan pelatihan merupakan unsur terpenting dalam peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Karena dapat dilakukan dalam jangka pendek dan merupakan inti dari
peningkatan kualitas hidup. Jika pendidikan sudah meningkat maka secara
berlahan unsur yang lainnya akan ikut meningkat juga.
Di
Indonesia pendidikan merupakan salah satu jalur yang digalakkan saat ini untuk
meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia Indonesia agar lebih baik,
terarah dan tidak tertinggal dengan negara-negara lain yang telah maju dan
modern. Di dalam tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 20 th 2003 tentang
sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa : Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya
potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sebuah
Implementasi dari Undang-undang tersebut, pemerintah mulai mengasah kreativitas
mereka guna menemukan kebijakan-kebijakan untuk membantu menuju pendidikan
masyarakat yang lebih maju. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar, yang dikenal dengan Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Konsekuensi dari hal tersebut maka pemerintah
wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat
pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/Mts serta satuan pendidikan yang sederajat).
Pendidikan
merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan
jangka panjang. Namun, sampai dengan saat ini masih banyak orang miskin yang memiliki
keterbatasan akses untuk memperoleh pendidikan bermutu, hal ini disebabkan
antara lain karena mahalnya biaya pendidikan. Kenaikan harga BBM beberapa tahun
belakangan dikhawatirkan akan menurunkan kemampuan daya beli penduduk miskin.
Hal tersebut dapat menghambat upaya penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan
Dasar Sembilan Tahun, karena penduduk miskin akan semakin sulit memenuhi
kebutuhan biaya pendidikan.
pendekatan
keamanan
4.
Apa Saja yang di Analisis
Dalam Formulasi Kebijakan
?
Jawab
Pada dasarnya ada empat
belas macam model perumusan kebijakan, dan keempat belas model tersebut
dikelompokkan kedalam dua model yaitu model elite dan model pluralis (Nugroho,
2012:544). Model elite merupakan model yang dipengaruhi kontinentalis yang terdiri
dari model kelembagaan (institutional),
model proses (process), model
kelompok (group), model elit (elite), model rasional (rational), model inkremental (incremental) dan model pengamatan
terpadu (mixed scanning). Sementara
model pluralis yaitu model yang dipengaruhi oleh anglo-saxonis yaitu model
teori permainan (game theory), model
pilihan publik (pilihan publik),
model sistem (system), model
demokratis (democratic), model
deliberatif (deliberative), model
strategis (strategic), dan model tong
sampah (garbage can).
Untuk
lebih memahami mengenai proses perumusan kebijakan, Nugroho
(2011:551) mengemukakan Model Proses Ideal Perumusan Kebijakan yang diambil
dari Pedoman Umum Kebijakan Publik yang
dikembangkan untuk Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Tahun
2006 yang secara umum dapat digambarkan secara sederhana
dalam urutan proses sebagai berikut :
1. Munculnya
isu kebijakan. Isu kebijakan dapat berupa masalah dan atau kebutuhan masyarakat
dan atau negara, yang bersifat mendasar, mempunyai lingkup cakupan yang besar,
dan memerlukan pengaturan pemerintah.
2. Setelah
pemerintah menangkap isu tersebut, perlu dibentuk tim perumus kebijakan. Tim kemudian secara paralel merumuskan naskah
akademik dan atau langsung merumuskan draf nol kebijakan.
3. Setelah
terbentuk, rumusan draf nol kebijakan didiskusikan bersama forum publik, dalam
jenjang sebagai berikut :
a. Forum
publik yang pertama, yaitu para pakar kebijakan dan pakar yang berkenaaan
dengan masalah terkait.
b. Forum publik kedua, yaitu dengan
instansi pemerintah yang merumuskan kebijakan tersebut.
c. Forum publik yang ketiga dengan
para pihak yang terkait atau yang terkena impact
langsung kebijakan, disebut
juga benificiaries.
d. Forum publik yang keempat adalah
dengan seluruh pihak terkait secara luas, menghadirkan tokoh masyarakat,
termasuk didalamnnya lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi isu terkait.
Hasil diskusi publik
ini kemudian dijadikan materi penyusunan pasal-pasal kebijakan yang akan
dikerjakan oleh tim perumus. Draf ini disebut Draf 1.
4. Draf
1 didiskusikan dan diverifikasi dalam focused
group discussion yang melibatkan dinas/instansi terkait, pakar kebijakan,
dan pakar dari permasalahan yang akan diatur.
5. Tim
perumus merumuskan Draf 2, yang merupakan Draf Final dari kebijakan.
6. Draf
final kemudian disahkan oleh pejabat berwenang, atau, untuk kebijakan
undang-undang, dibawa ke proses legislasi yang secara perundang – undangan
telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun
2011.
Berkaitan dengan proses
perumusan kebijakan, Abidin (2012:123) mengungkapkan bahwa proses perumusan
kebijakan publik dapat didekati melalui model yang dinamakan dengan Kerangka
Proses dan Lingkungan Kebijaksanaan (KPLK). Kerangka proses tersebut
menggambarkan proses kebijakan dalam tiga dimensi, antara lain dimensi luar,
dimensi dalam dan tujuan. Diantara
dimensi luar dan dimensi dalam terdapat jaringan keterkaitan (linkages).
Elemen luar adalah bagian
luar dari suatu organisasi yang mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap
rumusan kebijakan. Dimensi dalam adalah
bagian dalam dari dalam suatu organisasi, elemen-elemen yang berada di dalam
sistem ini terdiri atas struktur organisasi, sumber daya manusia, dan sarana organisasi,
termasuk peralatan dan teknologi yang dikuasainya. Keterkaitan atau linkages, yaitu pertama keterkaitan yang ditujukan untuk
memperoleh dukungan keabsahan atau legitimasi (enabling linkages), kedua adalah keterkaitan sumber daya yang
diperlukan dalam perumusan kebijakan. Terkait dengan sumber daya yang
diperlukan dalam proses kebijakan, Riant Nugroho (2011:506) mengemukakan
terdapat keterbatasan sumber daya dalam proses kebijakan publik, adapun
keterbatasan tersebut antara lain keterbatasan sumber daya waktu, kemampuan
sumber daya manusia, keterbatasan kelembagaan, keterbatasan dana atau anggaran,
dan keterbatasan yang bersifat teknis yaitu kemampuan menyusun kebijakan itu
sendiri.
Dalam membicarakan perumusan
kebijakan publik, adalah penting untuk melihat
siapakah aktor-aktor yang terlibat di dalam proses perumusan kebijakan
tersebut. Winarno (2012:126) membagi aktor-aktor atau pemeran serta dalam
proses pembentukan kebijakan dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni para
pemeran serta resmi dan pemeran serta tidak resmi.
5.
Dalam Evaluasi
Kebijakan Apa Saja yang Perlu di Analisis
?
Jawab.
Dimensi Evaluasi
Secara
garis besar ada dua dimensi penting yang harus diperoleh informasinya dari
studi dievaluasi dalam kebijakan publik.
Dimensi tersebut seperti :
- Evaluasi
kinerja pencapaian tujuan Kebijakan, yakni mengevaluasi kinerja
orang-orang yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan. Darinya
kita akan memperoleh jawaban atau informasi mengenai kinerja implementasi,
efektifitas dan efisiensi, dlsb yang terkait.
- Evaluasi
kebijakan dan dampaknya, yakni mengevaluasi kebijakan itu sendiri serta
kandungan programnya. Darinya kita akan memperoleh informasi mengenai
manfaat (efek) kebijakan, dampak (outcome) kebijakan, kesesuaian
kebijakan/program dengan tujuan yang ingin dicapainya (kesesuaian antara
sarana dan tujuan), dll
Menurut Palumbo dimensi kajian pada studi evaluasi mencakup
keseluruhan siklus di dalam proses kebijakan, dari saat penyusunan desain
kebijakan, saat implementasi, hingga saat selesai diimplementasikan. Jika
dikaitkan dengan kebutuhan informasi yang diperoleh dari hasil evaluasi, maka
dimensi evaluasi kebijakan meliputi hal-hal berikut :
Dimensi
Evaluasi dalam Siklus kebijakan
-
Penentuan Agenda
-
Pendefinisian Masalah
-
Forecasting, Definisi Sasaran
-
Pendefinisian Ukuran, Distribusi Masalah
-
Analisis Keputusan
-
Desain Kebijakan
-
Analisis Feasibilitas Politik
-
Terminasi
-
Pooling, Survey
-
Legitimasi Kebijakan
-
Evaluasi Formatif
-
Evaluasi Sumatif
-
Dampak
-
Implementasi
Penelitian evaluasi kebijakan bukanlah hal yang dapat
dipandang sepele karena dari hasil penelitian tersebut diharapkan diperoleh
masukan/umpan balik dan penilaian-penilaian yang akurat atas sebuah kinerja
kebijakan/program, serta hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan.
A.
Sebelum
pelaksanaan
Ø Gunakan prosedur-prosedur ilmiah
- Mengamati dan memahami tujuan
evaluasi
- Mengamati dan memilih criteria
- Mengamati sensitivitas metode
Ø Focus pada proses dan outcomes
kebijakan/program, bukan hanya pada outcomesnya saja. Dengan demikian dapat
diperoleh informasi mengenai aktifitas-aktifitas apa menghasilkan apa; serta
memungkinkan upaya replikasi di kemudian hari.
Ø Jangan batasi dampak hanya pada
sasaran-sasaran yang dinyatakan secara formal saja, sebab tidak semua sasaran
kebijakan dinyatakan secara formal. Konsekuensi-konsekuensi yang mungkin
terjadi akibat program/kebijakan juga dipertimbangkan. Untuk itu manfaatkan
hasil penelitian yang terkait, gunakan logika, atau pengalaman-pengalaman
atas program yang serupa.
Ø Pertimbangkan informasi-informasi
yang dibutuhkan oleh pembuat keputusan di masa mendatang, bukan hanya kebutuhan
saat ini. Bersikaplah sebagai ilmuwan, bukan teknisi evaluasi.
B. Persiapan sebelum menguji Program
1)
Definisi
Program Secara Jelas.
Harus dipastikan bahwa label yang
diberikan pada sebuah program memiliki makna dan maksud yang sama bagi semua
yang terlibat, sehingga jelas data mana yang harus diukur (definisi konsep harus
jelas, sehingga definisi operasionalnya juga jelas dan dapat direplikasikan).
2)
Spesifikasi
Sasaran/goals.
Karena sasaran-sasaran merupakan
criteria keberhasilan program, maka harus dinyatakan secara spesifik agar dapat
diperoleh tolok ukurnya. Sayangnya seringkali tujuan/sasaran tersebut hanya
disebutkan secara umum, jangka panjang, bahkan kadang kontradiksi dan tidak
terkait dengan aktifitas-aktifitas program. Jika hal ini terjadi, maka peneliti
bertanggung-jawab untuk merumuskannya secara bersama-sama dengan perencana
program dan manajer program.
3)
Keterkaitan
Rasional.
Harus ada keterkaitan rasional
antara program yang akan dievaluasi dengan sasaran yang dituju dan dampak yang
diharapkan. Ada tidaknya kaitan rasional tersebut, dapat menentukan apakah
program tersebut yang harus dimodifikasi atau sasaran dan hasil yang harus
dirubah (misal Program Pelatihan Angkatan Kerja dengan sasaran jangka panjang
berkurangnya angka pengangguran. Akan lebih masuk akal jika dikaitkan dengan
sasaran jangka pendek : pencapaian tenaga kerja berketrampilan.
4)
Pastikan
Kegunaan Evaluasi.
Kendati studi evaluasi dimaksudkan
sebagai akuntabilitas program, serta untuk memberikan informasi yang terkait
dengan pelaksanaan dan hasil program kepada pembuat keputusan dan manajemen,
namun seringkali studi evaluasi dilakukan dengan maksud-maksud tertentu,
yang disebut oleh Edward Suchman sebagai Pseudoevaluations. Karenanya
evaluator juga harus mengetahui siapa yang menghendaki dan mendanai studi
evaluasi tersebut untuk mencegah timbulnya ketegangan dengan administrator
program.
5)
Spesifikasikan
Variabel-variabel Evaluasi
-
Spesifikasikan
komponen-komponen program, dengan
memperjelas terdiri dari komponen-komponen aktifitas apa saja program tersebut
(misalnya PKK dengan 10 Program PKKnya). Gunanya adalah sebagai
-
Component
testing untuk menguji
sumbangan keefektifan masing-masing komponen terhadap program.
-
Spesifikasikan
sasaran-sasaran dan efeknya.
Bukan hanya yang dinyatakan secara formal dalam dokumen atau oleh pengelola
program, namun juga sasaran-sasaran latent dan dampak-dampak lain yang
diharapkan oleh masyarakat (misal kasus program Bantuan Langsung Tunai BLT yang
ditujukan untuk meringankan beban masyarakat miskin akibat kenaikan harga BBM,
dapat ditanggapi beragam – missal: apa criteria ‘miskin’ dan apa
criteria ‘meringankan’ yang dimaksudkan oleh program tsb? Karena jawabannya
dapat beragam, demikian juga dampaknya).
6)
Spesifikasikan
Variabel-variabel antesedennya.
Anteseden variable adalah
factor-faktor konteks yang dapat mempengaruhi jalannya program (misalnya
karakteristik target kebijakan; sifat dasar permasalahan sehingga memerlukan
intervensi kebijakn, dll).
7)
Spesifikasikan
variable-variabel
Interveningnya
dengan menanyakan : ”setelah program
dijalankan, faktor-faktor
apakah yang dapat mendukung atau menghambat pencapaian sasaran program?
-
Antecedent
factors
-
Program
Implementation
-
Intervening
-
Goals / Effects
8)
Measurement
setelah mengetahui apa saja yang
harus diukur, maka langkah selanjutnya adalah memilih tehnik pengukuran yang
tepat untuk menilai. Untuk itu perlu : a). ketepatan indicator (tolok ukur)
yang digunakan; b). Reliabilitas alat ukur (hasil yang diberikan
konsisten meski dilakukan dalam situasi yang berbeda) dan c). Validitas
alat ukur (ketepatan alat ukur dalam mengukur fenomena).
C.
Kriteria
yang harus dipenuhi dalam evaluasi
1)
Relevansi
: harus mampu memberikan informasi
yang tepat pada pembuat dan pelaku kebijakan, mampu menjawab secara benar
pertanyaan dalam waktu yang tepat
2)
Signifikan : harus mampu memberikan informasi
yang baru dan penting.
3)
Validitas : mampu memberikan pertimbangan
yang tepat sesuai dengan hasil nyata/data empiric mengenai hasil kebijakan.
4)
Reliabilitas : dapat membuktikan bahwa hasilnya
diperoleh dengan penelitian yang teliti
5)
Obyektif
: tidak memihak /bias
6)
Tepat
waktu
7)
Daya
guna : hasil penelitian dapat dipahami
dan dimanfaatkan oleh pelaku dan pembuat kebijakan